semakin anda mengeluh, semakin berat yang anda rasakan

Jumat, 03 Desember 2010

ia makhluk sempurna, menurutku


Aku adalah seorang mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di negeri ini. Aku cukup easy going dalam bergaul. Hanya jika dalam lingkungan yang baru, aku tidak begitu nyaman karena malas untuk bersosialisasi dan cukup memakan waktu untuk bersosialisasi dengan lingkunganku yang baru. Sama halnya saat aku baru masuk Universitas, banyak yang menilai aku adalah orang yang tidak ramah dan ga banget deh untuk di ajak gaul dan berteman seolah aku mempunyai dunia sendiri. Saat itu aku bisa di bilang si Kupu-kupu, Kuliah pulang kuliah pulang. Teman-teman masih di dalam kelas, aku sudah menghilang entah kemana. Karena saking tidak nyamannya dengan lingkungan yang baru. Itulah aku. Saat itu, baru-barunya kuliah selalu homesick. Rasanya tak betah di dalam kelas walau banyak makhluk-makhluk, tetap saja dalam pikiranku rumah adalah tempat yang paling nyaman. 

Semester 3 ini aku mulai akrab dengan sebagian besar anak-anak di kelas, lumayan lah di banding dengan semester-semester sebelumnya. Pada saat semester 1 dan 2 aku tidak pernah dekat dengan teman pria. Tapi di tengah-tengah semester 3 ini, aku rasa ada yang mulai mendekatiku. Aku tidak pernah menduga sebelumnya karena memang aku tertutup dengan lelaki pada saat itu. Mula-mula dia sms, entah siapa aku tidak kenal karena nomornya tidak ada di daftar kontak aku. Dan ternyata dia adalah Reza. Sungguh tak ku nyana sebelumnya. Dari situ kami mulai sering smsan walau sebelumnya aku tak pernah tegur sapa dengan dia di kelas atau di kampus. Lama kelamaan aku pun mencium ada suatu tujuan tertentu ia smsan dengan ku selama ini.  Dan setelah ku cari jawaban sana sini untuk memastikan feeling aku, ternyata benar dia suka padaku. Malah kata-kata itu langsung dari sms dia, seolah tidak canggung lagi untuk mengatakannya. Ya walau dengan sedikit nada becanda. Tapi aku yakin itu ucapan dari hatinya. 

Setelah kepastian itu ku dapat bahwa ia mempunyai perasaan lebih dari seorang teman, kami tetap berkomunikasi. Walau sering smsan, tetap saja kami jarang ngobrol di kampus. Mungkin ia canggung atau takut di ejek teman-teman sekelas yang terkenal jail dan suka jodoh-jodohin orang. Tapi lambat laun aroma yang Reza pakai tercium juga. Dari situ mulailah anak-anak bergosip ria. Di bilang aku jadian lah sama dia. Padahal ga sama sekali. Wah, rame pokoknya. Tapi aku cuek bebek saja dengan keramaian itu. Karena aku tidak ada apa-apa dengan Reza. 

Seiring berjalannya waktu, aku pun mulai merasakan ada sikap seseorang yang beda dari salah satu teman pria ku di kelas. Entah itu hanya perasaanku saja atau bagaimana. Selama ini feelingku kuat dan sebagian besar benar. Rio namanya. Ku lihat ia suka mencuri-curi pandang entah itu di kelas atau di luar kelas. Sebenarnya aku mulai melihat gelagat anehnya saat awal semester 3, saat itu ada pelatihan komunikasi di kampus. Dia menanyakan aku ikut atau tidak melalui jejaring sosial facebook. Dalam hati aku berkata, ada apa ini anak tumben amat nanya-nanya. Tapi setelah itu kita tidak pernah berkomunikasi atau smsan seperti aku dengan Reza karena memang aku tidak punya nomor hp dia begitu juga sebaliknya.

Semester 3 di mulai, hari pertama adalah hari pemilihan PJ (penanggung jawab) mata kuliah. Saat mata kuliah statistik ekonomi, aku dan Rio di tunjuk oleh teman-teman untuk jadi PJ mata kuliah tersebut. Dosen itu memang selalu minta PJ 2 orang, cewek cowok. Entah apa tujuannya. Mau tak mau aku terima amanah itu. Sebenarnya dalam hati tidak mau karena tidak mau repot. Dari situ, aku dan Rio mulai dekat. Rio menanyakan nomor hp aku, kita tukeran nomor hp. Karena memang penting untuk kebutuhan jika tiba-tiba ada informasi tentang Matakuliah yang kami emban tanggung jawabnya. 
Rio tidak seperti Reza yang selalu sms aku. Jika tidak ada keperluan dia tidak akan sms aku. Sms pun hanya seperlunya saja. Aku penasaran dengan pria satu ini. Begitu dingin terhadap wanita. Setelah ku cari informasi ternyata dia menunggu wanita pujaan hatinya yang entah wanita itu pun menunggu atau tidak yang jelas di alam pikirnya ia menunggu sampai si wanita mau sebagai pembuktian bahwa ia setia dan serius dengan niatannya itu. Oh like that. Makin penasaran saja aku mendengar cerita seperti itu. Di otakku seolah ada aliran darah yang menyeru aku untuk menaklukan pria dingin itu. Gue harus taklukin dia, niatku. 

Aku mulai sering smsan dengan Rio. Aku berikan ia perhatian yang lebih, aku coba buka dirinya agar ia mau bercerita denganku ya walau dengan sedikit kerja keras. Akhirnya setelah beberapa waktu ia mulai terbuka denganku. Ia ceritakan wanita yang ia tunggu itu. Salut memang, tapi sayang dan kasian juga jika ia menunggu dan mendapatkan harapan kosong. Yang membuatku semakin penasaran adalah cara ia sms denganku, ngobrol, sepertinya di bedakan dari teman yang lain. Pandangan ia, seolah beda, seolah mengatakan hal lain. Apa mungkin ia mempunyai perasaan yang lebih atau ini hanya keGRan ku saja? Tapi kan katanya dia mau menunggu wanita idamannya itu. Makin bingung ku di buatnya.
Walau begitu, terus saja aku jalani. Aku memang seorang yang penasaran, tidak bisa setengah-setengah dalam segala hal, juga hal seperti ini karena akan terus mengganjal sebelum aku mendapatkan jawaban yang pasti. Semakin lama aku semakin dekat dengan Rio. Dia selalu menceritakan perkembangan pendekatannya dengan wanita pujaannya itu. Setiap ia bercerita aku selalu menyemangatinya untuk terus berjuang walau titik temu belum ia dapatkan. Aneh memang, aku menyemangati dia padahal aku berharap dia berhenti berharap terhadap wanita itu. Aku pun heran dengan perasaanku ini, aku hanya ingin mencari jawaban yang benar-benar pasti agar hati ini tak bertanya-tanya lagi. Apa mungkin aku suka dia? Tapi aku kan Cuma iseng. Lagipula buat apa aku mencari jawaban yang seharusnya tak aku cari karena jawaban itu jelas, Rio punya wanita pujaan lain dan tidak mungkin ia berpaling kepada wanita lain. Lalu kenapa aku masih keukeuh mencari jawaban atas tingkah laku ia terhadapku?

Sampai liburan semester 3 aku masih belum menemukan jawaban itu. Masih terus ku cari sampai aku menemukan titik jenuh dan hampir menyerah untuk terus melanjutkan ‘penyelidikan’ ku itu. Sampai suatu hari ia sms yang berisi, Ta, sebenarnya wanita pujaanku itu kamu. Sontak aku kaget, aku heran. Aku? Qo bisa? Kenapa? Berjuta pertanyaan muncul dalam otak kanan dan kiriku. Aku masih tidak percaya ia sms seperti itu. Ku buka lebar mataku dan berulang kali aku baca sms yang baru saja aku terima dari makhluk yang selama ini membuatku penasaran. Tidak mungkin, pikirku. Lama ku diamkan handphone ku. Setelah keterkejutanku reda, aku balas sms dia. Aku? Ga salah? Tanyaku singkat. Ia ta, kamu. Besok aku mau ngomong langsung ama kamu kalo kamu masih ga percaya, jawabnya. Yaudah, balasku.

Keesokan hari ia menghampiriku di dekat parkiran yang biasa aku parkirkan motorku. Jantungku rasanya berdetak kencang, lebih kencang dari desiran angin yang berhembus dari arah timur. Kenapa aku ini, biasa aja ta, jangan gugup, tenang, tarik nafas. Ucapku dalam hati coba menenangkan diriku. Hei Rio, sapaku basa basi. Hai ta, gimana hari ini? Masih semangat dong? Tanyanya penuh semangat. Ya pastinya yo, oh iya yang semalem itu bener emang? Tanyaku penasaran. Iya ta, bener. Kapan sih aku pernah boong sama kamu? Ucapnya berusaha meyakinkan aku. Oh gitu yak yo, jawabku bingung. Terus gimana ta? Tanya Rio. Gimana apanya yo? Ya kita? Kita kenapa? Ya kan kamu tau aku suka kamu dari setahun lalu, kamu gimana? Aku sih ga gimana-gimana yo. Maaf banget yo, aku Cuma nganggep kamu temen, ga lebih dari itu. Kalau kamu mau ya tunggu sampai aku siap kamu pinang, jawabku. Ok, aku bakal tunggu dan buktikan keseriusanku padamu ta. Tunggu aja, jawabnya penuh semangat.

Setelah peristiwa itu, aku bersikap biasa saja. Aku pun meminta padanya untuk bersikap biasa saja karena aku tak ingin banyak orang yang tahu akan hal yang baru saja terjadi. Aku juga mengatakan pada Rio bahwa aku tak ingin ia terlalu berharap padaku, aku mempersilahkan ia untuk menyukaiku, menunggu, hingga membuktikan perasaan dan kesetiaannya itu. tapi aku tak ingin ia memaksa aku untuk menyukai dan membalas perasaannya. Aku tak ingin ia mencintaiku dengan rasa pamrih bukan karena ketulusan akn perasaannya tapi hanya karena ia ingin memilikiku seutuhnya. Rio pun menyetujui dan menyanggupinya. Lega rasanya. Aku ingin perasaan yang Rio rasakan timbul dan tumbuh dengan sendirinya tanpa ada paksaan atau merasa tak enak hati dengan Rio. Aku pun berusaha untuk tidak melukai perasaannya. Jujur saja, aku pun menyukainya tapi aku tak berani untuk berterus terang dan langsung mengatakan padanya. Aku ingin melihat usaha dia terlebih dahulu. Aku tak ingin di sakiti atau pun menyakiti karena buru-buru dalam mengambil sikap.
Hari demi hari terus aku jalani dan lewati. Aku merasa Rio benar-benar serius dengan ucapannya tempo hari. Tak salah memang aku mengacungkan jempol untuknya saat ia bercerita tentang wanita pujaannya itu, sebelum aku mengetahui bahwa wanita yang ia maksud adalah aku. Rio sangat perhatian, lemah lembut, he’s so perfect to me. Ya Tuhan, benarkah aku menyukai makhlukMu yang satu ini? Ia benar-benar gentleman, membuktikan perkataannya, memenuhi janjinya walau belum sepenuhnya.

Ah, aku harus jaga sikap dan perasaan pada Rio. Aku tak ingin terbawa perasaan, mungkin ini hanya kekagumanku bukan karena aku menyukainya layaknya perasaan wanita pada laki-laki. Ya, aku tak boleh terbawa perasaan. Biar saja ku ikuti jalan mainnya, biar aku menemukan waktu yang pas untuk menerima cintanya dan yakin benar dengan pembuktian ia selama ini. 

Tak terasa aku masuk semester 4. Aku bersyukur bisa bertemu ia kembali di kelas yang menurutku penuh cinta. karena kami sekelas, otomatis kami jadi sering bertemu. Apalagi kami sama-sama aktif dalam suatu organisasi universitas, semakin sering saja kami bertemu dan bertegur sapa. Malu sebenarnya bertemu dengan dia, entah kenapa malu itu muncul. Padahal seharusnya aku tak begitu karena we are friend. Apa mungkin benih-benih cinta itu mulai tumbuh dalam hatiku? Gawat, jangan sampai aku terbawa perasaanku nih. Aku tak ingin membalas perasaan dia secepat ini, terlalu cepat untukku. Butuh proses yang panjang untuk meyakinkan dan memantapkan hatiku.
Untung Rio seorang yang pengertian. Dia tahu keadaanku. Dia tahu bahwa aku tak bisa begitu saja membalas perasaan dia, dan dia pun tak keberatan untuk terus meyakinkan aku dengan pembuktiannya padaku. Ya Tuhan, mengapa Kau ciptakan makhluk yang begitu mempesona diriku? Dia terlalu perfect untukku. Apa dia tak salah orang memberikan perasaannya pada orang sepertiku yang tak ada apa-apanya di banding wanita lain di kelas dan di dunia ini? Kenapa harus aku? Aku tak tahu harus berucap apa, bersyukurkah atau terus heran dengan yang sedang aku alami?
Dia amat perhatian, mengingatkan aku solat, makan, istirahat, tugas, dan yang lainnya. Selalu mendukung aku dalam kegiatanku yang berjubel dan selalu menyemangatiku. Saat ini, bisa di bilang ia adalah motivatorku. Saat kakiku tak lagi sanggup berdiri tegak di atas tanah, ia yang menopangku. Saat kepalaku tak ingin di jejali dengan tugas dari kampus dan luar kampus, ia yang membantu meringankannya. Saat tanganku tak lagi mampu menulis apapun di atas kertas dan keyboard laptopku, ia yang merilekskan otot-otot tanganku dengan kata-kata motivasinya yang selalu membangunkan mataku yang terpejam dan tak ingin bangun dari keletihan dunia. 

Aku mulai menyayanginya, dari awalnya yang hanya sekedar suka. Mungkin ini yang di namakan proses walau aku tak tahu hasilnya akan seperti apa nanti. Aku tetap menyembunyikan perasaanku ini pada Rio, karena belum waktunya untuk aku ungkapkan. Lagipula aku bilang ke dia bahwa jika kamu serius tunggu sampai aku siap untuk kamu pinang. Aku tak ingin ia hanya jadi pacarku, sebenarnya, tapi lebih dari itu, itu harapanku. Au tak tahu mengapa aku yakin dengan dia walau aku baru kenal dengannya. Mungkin ini jalan Tuhan. Semoga.

Kini aku memasuki semester 5, Rio masih teguh dengan pendiriannya, membuktikan cintanya tanpa pamrih. Tak ada sedikitpun yang berubah darinya, sikapnya, perhatiannya, pengertiannya, motivasinya, masih seperti dulu, masih seperti saat ia berjanji di depan mataku. Ia tak pernah berlebihan dalam membuktikan cintanya itu. ia bukan tipikal lelaki gombal yang banyak berceceran di setiap jengkal bumi ini. Ia tak pernah berkata manis, ia tak pernah berkata i love you, ia tak pernah menyentuh tanganku, ia tak pernah mengeluh dengan apa yang ia lakukan untukku, yang ia lakukan hanyalah pembuktian dari apa yang ia ucapkan kala itu. aku semakin yakin dengannya. Tuhan, terimakasih Kau kirimkan ia ke dalam kehidupanku.

Rio tak pernah mengirimkan sms dengan kata-kata manis yang selama ini banyak aku temui pada pria-pria yang ingin singgah di hatiku. Rio pun tak pernah membebaniku dengan kekangan yang banyak aku temui pada pacar teman-temanku. Aku menyayanginya karena perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, perasaan yang tumbuh dari ketulusan rio yang menyayangiku, dan aku pun tulus tapi aku tak ingin mengungkapkannya pada Rio. Biar saja keadaannya seperti ini. Aku lebih nyaman seperti ini, aku rasa dan aku pikir dengan begini tak ada beban atau paksaan untuk aku dan Rio. Biar saja ia yang mengetahui sendiri bagaimana perasaanku padanya. Tentu yang namanya perasaan tak perlu di ungkapkan tapi di rasakan, karena hati yang merasakan bukan mulut. Mulut bisa berbohong tapi hati tak bisa berbohong dan di bohongi. 

Tuhan, begitu indah rasanya. Aku tak ingin kehilangan orang seperti ini. Jika ia baik untukku dan Engkau ridho, tolong dekatkan ia dan mantapkan keyakinanku padanya. Tapi jika ia bukan yang terbaik untukku dan Kau tak meridhoinya, tolong jauhkan ia dari hatiku bukan dari mataku karena bagaimanapun juga ia pernah ada dalam hatiku dan ia adalah teman juga lelaki terbaik yang pernah aku temui. Dan tolong Tuhan redam rasa ini dan berikan rasa ini pada orang yang seharusnya aku berikan rasa ini, jika memang Kau tak menakdirkan nya untukku.

Rio sakit. Aku gundah dan khawatir dengan keadannya. Aku baru tahu kabar setelah 3 hari ia di rawat di rumah sakit. Ya ampun kemana saja aku ini. Masa ga tau kabar teman sekelas sih. Parah. Aku dan teman-teman lainnya memutuskan untuk menjenguknya di rumah sakit sepulang kuliah nanti. Pikiranku mulai tak tenang, selama perkuliahan nyawaku tak berada di kelas. Pikiranku melayang memikirkan keadaan Rio. Rio,,,kamu kenapa ga ngabarin aku sih? Aku khawatir banget ama kamu, aku sayang kamu, semoga kamu baik-baik saja. Kuliah selesai, akhirnya. Aku beserta teman yang lainnya segera menuju rumah sakit yang lumayan jauh dari kampusku. Sepanjang perjalanan aku terdiam, memikirkan Rio. 

Psss.....mobil yang aku dan teman-teman tumpangi bannya bocor. Aduh, pake bocor segala sih. Ga tau apa orang lagi buru-buru. Ada-ada aja lagi nih mobil, gerutuku. Sudah, jangan marah-marah gitu, aku ganti dulu yak bannya, untung aku bawa ban serep, ucap Reza berusaha menenangkanku. Agak cepat yak Za, pintaku pada Reza. Iya sabar, ucap Reza dengan tenang. Lumayan lama Reza mengganti ban mobilnya, setengah jam ku kira. Udah beres nih Ta, yook jalan lagi, ajak Reza dengan sedikit terengah-engah kelelahan mengganti ban mobilnya. Yook Za, ga pake lelet yak Za, tar keburu macet lagi, bisa gaswat nih, pintaku dengan cerewet. Iya bawel juga yah ibu yang satu ini, ujar Reza menggodaku sedikit. 

Sesampainya di rumah sakit, langsung ku tanyakan resepsionis di sana. Ku tanyakan pasien atas nama Rio Raditya Rahmawan. Ruang anggrek no. 12 mbak di lantai 3, ucap si resepsionis. Maksih yak mbak, ucapku. Aku dan teman-teman menuju lift, lama sekali liftnya, keluhku. Ayo dong cepet lift, ga tau orang lagi buru-buru apa, gumamku kesal. Aduh, ini ada apa yak daritadi kayaknya ada aja halangannya, pikirku heran. Setelah 7 menit berdiri di depan lift yang belum terbuka juga, ada satpam lewat memberitahu bahwa liftnya sedang dalam perbaikan jadi di sarankan untuk lewat tangga. Ya ampuuun, apalagi ini, pikirku, daritadi ada aja halangannya, gumamku kesal. 

Aku buru-buru menuju tangga, dengan langkah yang agak cepat, mungkin bisa di bilang setengah lari. Saking khawatirnya dengan Rio, aku tak terasa capek sama sekali sampai di lantai 3. Ku cari ruang anggrek no.12, setelah putar-putar dan menanyakan pada suster di situ akhirnya aku sampai di ruang anggrek no.12. aku tak sabar ingin melihat keadaan Rio-ku, bagaimana ia sekarang? Aku khawatir sekali, karena sebelumnya ia tak pernah mengeluh sakit apapun padaku, ia tak pernah tak memberi kabarnya padaku. Setiap hari kami saling memberi kabar kami agar kami sama-sama tahu keadaan masing-masing.

Ku buka perlahan pintu bertuliskan angka 12 itu. ku ucap salam bersamaan dengan teman-temanku. Di sana ku temui kedua orang tua Rio dan adiknya yang baru berumur 10 tahun. Ku cium tangan kedua orang tuanya dan ku sapa adik kecil Rio. Ku tanyakan pada kedua orang tua Rio bagaimana keadaan Rio dan kenapa ia bisa sakit seperti itu. mereka mengatakan bahwa keadaan Rio kritis, ia menderita kanker otak dari SMA kelas 3. Dan ini kejadian yang paling parah semenjak ia menderita penyakit yang mematikan itu. ia sering bercerita tentang kamu, kamu Nita kan teman dekatnya Rio? Aku mengangguk, tanda mengiyakan. Dia sangat menyayangimu, dia pernah bilang bahwa dia ga mau kehilangan kamu dan dia sedang memperjuangkan dan membuktikan cintanya kepada kamu. Di sungguh-sungguh mencintai kamu. Dia anak yang baik, Cuma mungkin nasib saja yang kurang berpihak padanya. Ia tak seberuntung anak-anak yang lain yang sehat, ia tidak boleh berpikir terlalu berat karena sedikit saja ia berpikir keras maka kepalanya akan sakit dan ia tidak bisa melakukan apapun, cerita ibu Rio dengan mata yang berkaca-kaca. 

Aku tak bisa berucap apapun pada ibu Rio. Aku ingin melihat Rio, pintaku. Mari ibu antar, ucap ibu Rio sambil menggandeng tanganku menuju ruang istirahat Rio. Rio, ucapku pelan. Aku terkejut dan tak kuasa melihat keadaan Rio yang lemah di atas tempatnya berbaring. Tangan di infus, dan segala macam peralatan kedokteran yang menempel pada tubuhnya. Tak terasa aku meneteskan air mata, aku ambil kursi dan duduk di sebelahnya. Saat aku ingin menyentuh tangannya, ia melarangku dengan suara yang amat pelan. Jangan, aku sudah berjanji padamu untuk tidak menyentuhmu sampai aku meminangmu dan kamu halal untukku, ucap Rio dengan sedikit terpatah-patah. Sontak air mataku mengalir deras, aku tak kuasa mendengar apa yang baru saja ia ucapkan. Itu sangat menyentuh hatiku, aku terharu sekali dengan apa yang ia ucapkan. Dalam keadaan seperti itu ia masih menjaga kesucianku dari ketidakhalalan aku untuknya. Tuhan, mengapa Kau berikan orang sesempurna Rio untuk diriku yang hina dan tidak bisa memberi apapun atas cintanya yang tulus padaku?

Rio, aku.... belum sempat aku berbicara, ia sudah menghentikan gerak lidahku dengan bisikan dari mulutnya, ssst, katanya, kamu tak usah bicara, aku tahu apa yang akan kamu katakan, katakan nanti saja di waktu yang memang seharusnya kamu katakan, pasti lebih indah nanti pada waktu yang tepat, ucapnya dengan suara pelan. Rio, aku sayang kamu, ucapku dalam hati. Karena aku ingin mengatakan itu tapi tak di izinkan oleh Rio, ia takut aku mengatakannya hanya karena melihat keadaan ia yang lemah. Ia selalu berpesan padaku, jangan terbawa perasaan. Mungkin ini salah satunya, ia tak ingin aku mengucapkan kalimat itu saat aku melihatnya iba dan lemah. Ia ingin aku mengucapkan kalimat itu dengan ketulusan hatiku seperti ketulusan ia padaku selama ini.

Selama ia sakit, aku terus menyemangatinya lewat sms dan telpon karena ia memintaku untuk tidak terlalu sering menjenguknya khawatir aku tidak konsen dengan kuliahku dan agar saat ia sembuh aku bisa mengajarinya mata kuliah yang ia tinggalkan selama di rumah sakit. Wah, otak encer emang. Ga mau rugi banget walau lagi sakit masih aja mikirin pelajaran. Dua minggu lamanya ia di rumah sakit, dan akhirnya ia masuk kuliah. Aku senang sekali, bersyukur pada Tuhan karena cepat mengangkat penyakit Rio dan menyembuhkannya. Terima kasih Tuhan, Kau kabulkan doaku yang aku panjatkan setiap hari untuknya. 
*insya Allah bersambung
#terinspirasi dari .......
-imar-
*who always love my God and my parents
*who always keep him spirit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar